[Ilustrasi] Shalat berjamaah di Masjid Ar-Riyadh, Gunung Tembak, Balikpapan.* [Foto: SKR/MCU]
ar-riyadh.com – SUATU ketika Rasulullah ﷺ berkata kepada para Sahabatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad, “Hampir terjadi keadaan di mana umat-umat lain akan mengerumuni kalian untuk menyantap kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana orang-orang yang mengerumuni piring makanannya.”
Salah seorang sahabat kemudian bertanya, “Apakah karena sedikitnya jumlah kami ketika itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah ﷺ menjawab, “Bukan. Bahkan pada saat itu kalian berjumlah banyak. Tapi kalian bagai buih yang terbawa air saat banjir.”
Dari hadits ini kita bisa tahu bahwa ada suatu keadaan di mana umat Islam lemah meskipun jumlahnya banyak. Lemah seperti buih yang mudah sekali terombang-ambing mengikuti arus. Jumlahnya banyak namun mudah sekali hilang, lalu muncul lagi dan hilang lagi. Tak memiliki kekuatan untuk bertahan lama, tak punya daya upaya untuk mencoba melawan arus. Umat Islam seperti makanan yang siap disantap. Makanan tak mungkin bisa membalas memakan tuannya, hanya pasrah menunggu disantap.
Mengapa umat Islam ketika itu berada dalam keadaan lemah? Dalam lanjutan hadits tersebut Rasulullah ﷺ berkata, “Allah mencabut rasa takut musuh-musuh kalian serta menjangkitkan di dalam hati kalian penyakit wahn.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.”
Manusia yang mencintai dunia tak akan mau berjuang untuk Islam. Waktu mereka habis untuk mengejar dunia seakan-akan mereka hidup selamanya. Mereka akan mempertahankan apa yang mereka dapat tanpa mau berkorban untuk sesama. Mereka tak peduli lagi dengan seruan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Jika kepada Tuhannya mereka sudah tak peduli, apalah lagi dengan sesama manusia.
Lalu bagaimana membangun Muslim yang kuat sementara kaum yang tak suka dengan agama Tauhid ini terus menerus berupaya menjauhkan kaum Muslim dari agamanya? Mari simak firman Allah Ta’ala dalam surat Ali-Imran [3] ayat 103, “Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah seraya berjamaah dan janganlah kalian bercerai berai …”
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff [61]: 4)
Imam Al-Qurthuby menafsirkan kata “jami’an” pada surat Ali Imron [3] ayat 103 dengan bersatu padu atau berjamaah. Sedangkan Imam Ahmad menceritakan suatu kisah berkenaan dengan surat Ash-Shaff [61] ayat 4, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Ada tiga macam orang yang Allah ridha kepada mereka, yaitu seorang yang mengerjakan shalat malam hari, dan kaum yang apabila shalat (berjamaah) mereka membentuk barisan dengan teratur, serta kaum yang apabila dalam medan perang mereka membentuk barisan dengan teratur.”
Dengan demikian, Muslim yang kokoh hanya bisa dibangun lewat jamaah yang berbaris rapi sebagaimana shaf dalam shalat. Abu Mas’ud pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Luruskanlah (shaf kalian) dan janganlah bercerai berai sehingga akan tercerai berai hati kalian,”(Riwayat Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa kaum Muslim akan kuat manakala berdiri di atas landasan jamaah. Mereka tak akan mudah dicerai-beraikan dan diadu domba oleh musuh-musuh mereka. Sebab, di dalam jamaah ada ukhuwah, kepemimpinan, dan ketaatan, sebagaimana Nabi ﷺ dan para Sahabatnya.
Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Berdua lebih baik daripada sendiri, bertiga lebih baik daripada berdua, berempat lebih baik daripada bertiga, maka hendaklah kalian tetap berjamaah, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku kecuali atas sebuah petunjuk (hidayah),” (Riwayat Ahmad).
Wallahu a’lam.* Mahladi
Sumber Hidayatullah.com