Jama’ah Masjid ar Riyadh di Kampus Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan 2021
ar-riyadh.com – Dulu kawasan ini dikenal sebagai daerah yang gelap dan terkesan menakutkan. Lokasinya sekitar 33 kilometer di ujung timur Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Namanya saja, Gunung Tembak. Kabarnya, itu disematkan karena merupakan kawasan pembuangan sekaligus lokasi penjagalan manusia. Mereka yang bernasib naas dibunuh di tempat dan dibuang begitu saja.
Namun itu cerita 47 tahun lalu. Kini Gunung Tembak telah menjadi perkampungan Islami. Di sinilah Pesantren Hidayatullah hadir. Semuanya ditata dengan rapi dan teratur dalam suatu sistem masyarakat. Islam coba diperagakan. Masjid ar-Riyadh menjadi pilar dalam membangun masyarakat tersebut.
“Sejak dulu pendiri Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said, mengajarkan istilah lingkungan yang dibangun adalah mencerminkan ajaran Islami, alamiah, dan ilmiah,” jelas Hamzah Akbar, Ketua Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan, dalam suatu kesempatan.
Kedermawanan H Darman
Tepat di puncak Gunung Tembak, Masjid ar-Riyadh berdiri megah. Dari kejauhan, dua kubah kembarnya sudah terlihat sejak di kelokan Jalan Mulawarman, poros Balikpapan-Kutai Kartanegara. Jika malam hari, masjid yang mulai dipasangi lantai marmer itu tampak indah bertabur cahaya.
Setiap saat, ratusan santri dan masyarakat sekitar rukuk dan sujud secara berjamaah. Suara lantunan adzan tak putus setiap shalat lima waktu. Berbagai kegiatan keagamaan juga tak pernah henti dilakukan.
Di sekitar masjid, berdiri beberapa bangunan pesantren. Ada ruang kantor, asrama dan madrasah santri, serta lapangan dan perumahan warga pesantren. “Di dalam kampus ada dua RT yang dihuni ratusan guru pesantren,” ucap Hamzah lagi.
Dikutip dari buku Mencetak Kader, nama Masjid ar-Riyadh ternyata ada ceritanya. Berawal dari kunjungan seorang Duta Besar Arab Saudi ke Gunung Tembak, beberapa waktu lalu. Selain silaturahim, syaikh tersebut berkenan menamai masjid sekaligus memberikan bantuan untuk pembangunannya. Riyadh adalah nama ibukota Arab Saudi, yang juga bermakna taman-taman (surga).
Masjid ar-Riyadh juga menyimpan cerita tentang kedermawanan seorang bernama Haji Darman Rahimahullah. Ialah yang menghibahkan tanah untuk lokasi masjid sekaligus beberapa bangunan utama di lokasi Pesantren Hidayatullah.
Tercatat, tanah yang dihibahkan seluas 5,4 hektar dan diserahkan secara resmi pada hari Sabtu, 5 Maret 1976. Walikota Balikpapan saat itu, Asnawie Arbain, meminta Kepala Agraria Balikpapan, Abdul Muin, agar terlebih dahulu meninjau lokasi tersebut.
Dulu tanah bersejarah itu bekas tempat pembakaran batu bata. Begitu Walikota memberitahu bahwa di lokasi akan dibangun pesantren, Haji Darman yang saat itu menjadi Ketua RT tiba-tiba menangis.
“Sudah dua tahun lamanya, saya pernah bermimpi didatangi orang-orang berpakaian putih dengan muka yang bercahaya. Sejak itu saya tidak pernah makan nasi. Saya hanya makan buah-buahan dan minum air putih. Saya juga tidak tahu mengapa saya berbuat demikian. Hanya dalam hati saya ada perasaan bahwa pasti ini kebaikan yang akan muncul di tempat ini,” ujarnya.
Haji Darman sendiri sebenarnya bukanlah sosok yang kaya raya. Tidak pula seorang pejabat atau pemilik warisan yang melimpah. Dia hanya dikenal sebagai seorang pekerja keras yang suka menolong sesama.
Berasal dari Pare, Kediri (Jawa Timur), Haji Darman dan keluarga merantau ke Balikpapan pada tahun 1951 silam. Tak punya modal apa-apa. Karena itu bertahun-tahun ia bekerja serabutan. Apa saja yang penting bisa dikerja dan halal.
Keluarga Haji Darman rela tinggal di gubug kayu hingga berkali-kali pindah tempat. Istrinya, Hj Marliyah, tak sungkan pula bekerja membantu warga di sawah. Mulai dari menyemai, menanam, memanen, hingga menjemur padi.
Anak-anaknya juga demikian. Sejak kecil mereka dididik bekerja keras dan membantu kedua orangtuanya.
“Bapak bukan orang kaya, bahkan bisa dibilang miskin. Tapi dia pekerja keras dan semua anaknya dididik bekerja keras, anak laki-laki maupun perempuan,” ucap Masamah, salah satu putrinya.
Rusani, putra kedua Haji Darman juga memberi kesaksian. Sejak usia 11 tahun, ia mengaku sudah mengurus tiga kerbau milik warga sekaligus.
“Setiap Shubuh dibangunkan shalat. Setelah itu langsung kerja. Begitu setiap hari,” jelasnya.
Berjiwa pemberani, giat bekerja, dan suka menolong, menjadi catatan yang melekat di memori anak-anak Haji Darman. Termasuk rajin ibadah. Ini juga kompak diakui.
“Ibadah bapak seperti ustadz-ustadz itu. Setiap adzan berkumandang, langsung pergi ke masjid untuk shalat berjamaah,” lanjut Masamah.
Kebaikan yang diberkahi. Inilah yang barangkali klop ketika Haji Darman melepas sebagian tanahnya untuk lokasi Pesantren Hidayatullah. Padahal semua itu hasil jerih payah dan peras keringatnya selama bertahun-tahun.
Berawal dari nol, Haji Darman kemudian menjadi tokoh di masyarakat. Keakraban dengan warga menjadi modalnya. Demikian pula ketika menyerahkan tanahnya, tak ada yang diharap kecuali ingin membantu aktivitas kebaikan.
Haji Darman tahu, bukan harta yang dikumpul yang bisa menolong dia dan keluarganya kelak. Namun amal jariyah itulah yang bakal menemani kuburnya dan menyelamatkan di Akhirat.
Haji Darman dan istri meninggalkan enam orang anak: Sayudi, Rusani, Rusmi, Syai’in, Rudian, dan Masamah. Juga telah lahir cucu dan cicit. Mereka tinggal di sekitar Masjid ar-Riyadh dan Pesantren Hidayatullah. Suka duka telah dilewati bersama.
Dermawan itu telah tiada. Haji Darman pergi tak meninggalkan banyak harta, namun mewariskan cita-cita luhur. Selalu ingin bermanfaat dan berbagi kebaikan.
Semoga Allah SWT membalas setiap kebaikan Haji Darman dan melimpahkan keberkahan kepada seluruh anak keturunannya. Amin.